Bireuen 3 MODUS ACEH MINGGU IV, SEPTEMBER 2008 Insiden sulok sudah hampir dua minggu berlalu. Sampai saat ini belum terungkap misteri dibalik peristiwa yang menelan tiga korban jiwa dan empat lainnya lukaluka. ntuk menyibak sedikit dibalik peristiwa tragis tersebut, saya mencoba melakukan investigasi langsung ke lokasi kejadian pada Selasa pekan lalu. Perjalanan ke lokasi kejadian itu, lumayan jauh. Jaraknya sekitar 45 kilometer arah barat Kota Bireuen. Masuk ke dalam sekitar lima kilometer dari Jalan Medan-Banda Aceh. Tepatnya, di Desa Arongan, Kecamatan Simpang Mamplam, Bireuen. Desa pinggiran pantai itu dulunya masuk dalam wilayah Kecamatan Samalanga, Kabupaten Bireuen. Tapi setelah pemekaran beberapa tahun lalu, Desa Arongan termasuk dalam wilayah Kecamatan Simpang Mamplam, Kabupaten yang sama. Walau pemekarannya sudah lama, namun kebanyakan orang masih menyebut Desa Arongan Samalanga. Termasuk pada pamflet nama Dayah Sa’adatuddaraini. Masih belum diganti dengan yang baru, seiring dengan peralihan kecamatan. Di situ masih tertulis Desa Arongan, Kecamatan Samalanga. Saya sampai ke sana sekitar pukul 12.00 Wib. Dari luar tampak sepi, bagai tidak berpenghuni. Setelah masuk dan berada dalam areal dayah baru suasananya berubah. Terlihatlah beberapa laki-laki berlalu-lalang. Kebanyakan mereka sudah berusia lanjut dan berpakaian muslim terusan. Sementara yang lainnya mengerumuni tempat wudhuk besar. Mereka tidak mempedulikan kehadiran saya. Seorang di antara mereka, berusia muda mendekat dan menyunggingkan senyuman ke arah saya. Langsung saja saya memberi salam dan mengutarakan keinginan untuk bertemu dengan pimpinan Dayah Mengungkap Misteri Insiden Sulok SAYA adalah salah seorang korban yang selamat akibat kebrutalan Abdullah Daud. Tapi saya bukan jemaah suluk. Saya orang luar dayah yang saat ini menjabat Geuchik Arongan. Kedatangan saya ke sana adalah untuk membantu membekuk Abdullah. Waktu itu saya dijemput oleh beberapa orang dayah, yang mengatakan bahwa Abdullah yang sudah menikam beberapa dua orang jemaah suluk hingga meninggal dan melukai empat lainnya saat hendak merampas pisau dari tangannya. Mereka meminta saya untuk melumpuhkan Abdullah, karena saya sudah terbiasa melerai orang berkelahi dengan menggunakan senjata tajam. Mereka tahu, saya sedikit menguasai ilmu bela diri. Heran juga saya, kenapa mereka waktu itu tidak langsung melaporkan ke polisi. Sesampainya saya di sana, saya lihat orang- orang sudah sangat ketakutan dan berusaha menyelamatkan diri masing-masing. Ada yang naik ke atas pepohonan dan ada juga yang lari keluar areal dayah. Tgk. Mahdi, pimpinan dayah itu sendiri saya lihat Mahyiddin Djalil, Kepala Desa Arongan Inilah Kesaksian Korban yang Selamat sudah berada di jalan. Saya bergegas masuk ke dalam Dayah. Saya lihat di atas balai, Abdullah Daud dengan gagahnya berdiri sambil menggenggam sebilah pisau. Dia sedang menunggui dua orang jemaah suluk yang sudah naik ke atas loteng. Ketika saya hendak naik ke balai, M. Daud Hasyem, yang waktu itu berdiri di luar, minta ikut bersama saya ke balai. Tapi saya larang, saya katakan padanya agar dia jangan naik ke balai. Biar saya saja yang ke sana. Semula saya agak deg-degan juga melihat Abdullah dengan pisau yang berlumuran darah di tangannya. Namun saya bulatkan tekad dan menyerahkan diri kepada Allah. Kalaupun saya mati biarlah, karena saya sedang berusaha menolong orang-orang dari amukan Abdullah. Langsung saja saya masuk. Kemudian untuk mengecoh dan mengalihkan perhatian Abdullah, saya menunjuk ke loteng, tempat dua orang bersembunyi tadi. Begitu dia lihat ke atas, seketika itu juga saya melompat dan merangkul tubuhnya dari belakang. Tangan saya dengan cekatan mencengkram tangan kanan Abdullah yang menggenggam pisau erat-erat. Sungguh aneh, tubuh saya terasa panas sekali berdempetan dengan tubuh dia. Rasarasanya badan saya seperti tersetrum arus listrik. Hampir saja saya melepaskannya. Namun saya tidak mau menyerah dan tetap berusaha melepaskan pisau dari tangannya. Sedang saya turunkan genggaman saya sedikit-sedikit dari siku Abdullah, tanpa saya sangka-sangka M. Daud Hasyem datang. Dia hendak merebut pisau dari tangan Abdullah. Nah, saat itulah Abdullah langsung meluruskan tangannya, sehingga pisau itu tepat bersarang ke dada M. Daud. Seketika itu juga dia tumbang bersimbah darah dan akhirnya menghembuskan nafasnya yang terakhir. Sementara saya tetap tidak melepaskannya dan dengan sekuat tenaga berusaha merebut pisau dari tangan Abdullah. Dia masih berusaha menikam saya lagi. Tapi karena pegangan tangan saya cukup kuat, dia hanya berhasil menyayat lengan kiri saya. Enam orang lainnya secara bersama-sama berusaha melepaskan pisau dari genggamannya. Bahkan ada yang berusaha menggigit tangannya, namun pisau itu tidak terlepas juga. Tak ada cara lain, terpaksa ujung pisau itu mereka bengkokkan, agar tidak berbahaya lagi. Pisau itu baru bisa lepas, setelah dia kami jatuhkan dan lengannya kami injak. Sedangkan yang lain memaksa melepaskan tangannya dari genggaman pisau. Baru kemudian kami ikat kedua tangan dan kakinya. Tak berapa lama polisi pun datang dan membawanya ke Mapolsek Samalanga. *** ¦ Suryadi (Bireuen) Sa’adatuddaraini, Tgk. Mahdi. “Abati tidak ada. Dia sudah pergi ke Lawwung, Pidie, ke rumah almarhum Zulkarnaen, korban yang meninggal di sini hari itu. Mungkin nati sore Abati baru pulang,” jawab pria itu dengan ramah. Abati adalah nama sebutan untuk Tgk. Mahdi. Kemudian saya tanya lagi, dengan siapa boleh saya bertemu, selain dengan Abati. Sebab, saya katakan pada dia, kalau boleh saya hanya memerlukan data-data atau profil dayah ini. Dia meminta saya menunggu sebentar. Kemudian dia berlalu ke belakang. Agak lama juga dia balik lagi. Sambil menunungu orang tadi kembali, saya mencoba “sok akrab” dengan seorang pria yang hendak berwudhuk. Tidak siasia, rupanya dia bersedia saya ajak ngobrol. Dia salah seorang jemaah suluk, umurnya sekitar 60 tahun. Saya mencoba menyinggung sedikit tentang peristiwa berdarah lalu. Dari mulut lelaki itu, terkuak sedikit misteri dibalik aksi penikaman, yang menyebabkan tiga salik meninggal dan empat orang lainnya menderita luka-luka. Tampak dia sangat hati-hati sekali menceritakan masalah tersebut. Sambil berbicara, matanya selalu melirik dan mengawasi sekeliling. Tampaknya, sangat sensitif membicarakan masalah peristiwa tersebut di lingkungan pesantren tradisional itu. Dari cerita salik yang tidak bersedia disebutkan namanya itu terungkap, teka-teki tentang siapa sebenarnya Abdullah Daud, lelaki pembawa maut itu. Menurut dia, gelagat mencurigakan dari lelaki asal Desa Gampong Baro, Kecamatan Tiro, Kabupaten Pidie, itu sebenarnya sudah tampak sejak awal dia mengikuti ritual suluk. Dia sangat jarang mengikuti shalat berjama’ah. Kalau pun sesekali dia ikut shalat berjama’ah, hanya ikut-ikutan saja. Begitu juga dalam mengikuti ibadah suluk, terkesan hanya ikut-ikutan bergabung saja dengan peserta lain. Kebanyakan dia hanya duduk termenung. Juga sering menyendiri. Seperti ada beban dan hasrat tertentu yang belum kesampaian. Namun gelagat Abdullah yang demikian, sebelumnya tidak menjadi perhatian para jemaah suluk lainnya. Baru setelah kejadian penikaman hari itu, mereka menyadarinya. Intinya, tanda-tanda tidak beres dan ada niat jahat pada diri Abdullah, sudah kelihatan sebelum terjadinya pembunuhan. Kedatangannya ke dayah itu juga tidak seperti jemaah-jemaah suluk lainnya, yang umumnya diantar oleh pihak keluarga atau kerabat. Abdullah tidak demikian. Dia hanya nebeng pada seorang kawan sekampungnya. Walau dia ikut terdaftar sebagai salah seorang peserta ritual suluk di dayah itu. “Banyak bahan yang dia bawa. Pisaunya saja sampai empat bilah,” ungkap lelaki itu, sambil menggidikkan bahunya. Sayangnya, selagi asyik narasumber itu berkisah seputar diri Abdullah, pria yang tadi permisi ke belakang, balik lagi menemui saya. Dia datang bersama seorang anak muda. Pria tadi mempersilahkan saya bertanya pada anak muda itu. Sepertinya, dia anggota keluarga Abati. Langsung saja saya utarakan maksud kedatangan saya. “Saya tidak tahu. Abati sendiri yang lebih mengetahuinya. Tapi dia sekarang sudah pergi ke Pidie,” jawab anak muda itu. Kemudian, datang seorang pria yang hari itu memakai singlet. Kelihatannya, dia juga anggota keluarga pimpinan dayah. Kepada dia juga saya kemukakan maksud kedatangan saya. Dia mengatakan, untuk saat ini Tgk. Mahdi tidak boleh ditemui dulu. “Abati masih trauma setelah peristiwa itu. Apa yang telah ditulis di korankoran sudah benar. Memang begitulah kejadiannya. Tidak perlu lagi dikonfirmasikan pada Abati,” tolak dia dengan halus. Setelah itu dia mempersilahkan narasumber tadi dan para jemaah suluk lainnya untuk masuk ke bilik masing-masing, kembali melanjutkan aktifitas suluk. Para jemaah suluk pun menurut, mereka masuk ke bilik masing-masing. Saya pun mohon diri meninggalkan dayah dengan tangan hampa. Dari keterangan narasumber tadi, didapat novum baru. Sepertinya pembunuhan itu sudah direncanakan sebelumnya. Dari beberapa narasumber lainnya di lingkungan dayah, juga diketahui pisau-pisau yang berjumlah empat bilah itu sudah duluan dipersiapkan Abdullah Daud. Benda tajam itu juga bukan pisau dapur seperti disebutkan dalam Modus Aceh edisi lalu, tapi pisau belati. Keterangan narasumber dari luar dayah menyebutkan, mereka dapat info dari kalangan dayah itu sendiri. Ada kejanggalan lain sebelum terjadi penikaman hari itu. Disebut- sebut, beberapa hari sebelumnya, Abdullah ada kecoplosan ngomong. Kepada seorang anak dalam lingkungan dayah, Abdullah pernah mengatakan, dia butuh sepuluh orang saja di dayah itu. Tidak diketahui maksud dia berkata begitu. Berat dugaan, dia membutuhkan korban sepuluh orang di dayah itu. Abdullah juga pernah bertanya. Yang mana Tgk. Mahdi itu. Sebab, selama di sana dia belum kenal dengan Tgk. Mahdi, pimpinan dayah tersebut. Kemungkinan Tgk. Mahdi juga jadi sasarannya. Maklum, dari semula pimpinan dayah itu memang jadi sasaran utama pembunuhan. “Mungkin karena tidak mengenal Tgk. Mahdi, jemaah suluk bisa juga jadi korbannya,” duga narasumber yang juga tidak mau menyebut namanya. Menjelang detik-detik penikaman, pagi itu Abdullah pernah memanggil sang anak tadi ke dalam biliknya. Dia minta tolong, dengan berpura-pura sakit perut. Begitu anak itu datang dan mendekat, Abdullah langsung mengeluarkan pisau belati dari balik bajunya. Untunglah si anak tadi cepatcepat balik arah, lari terbirit-birit meninggalkannya. Kalau tidak, tentu pagi itu dia yang menjadi korban pertamanya. Yang lebih mengejutkan, disebut- sebut saat beraksi pagi itu, Abdullah menjelma menjadi seekor harimau. Maksudnya, di mata orang- orang waktu itu, seakan-akan sosok Abdullah seperti seekor harimau lapar yang sedang memburu mangsa. Makanya para jamaah saat itu sangat ketakutan dan berlarian menyelamatkan diri. Ada yang naik ke atas pohon giri (jeruk Bali-red). Ada pula yang naik ke atas loteng. Tgk. Mahdi sendiri hari itu harus lari menyelamatkan diri ke luar dayah. Kabarnya, Abdullah Daud juga mempunyai ajimat yang dipasang di pinggangnya. Berupa secarik kain yang di dalamnya diisi berbagia benda aneh. Satu di antaranya adalah jeruk purut. Waktu itu, ketika dipukul, dia tenang-tenang saja. Sewaktu dirampas pisau, dia juga berusaha mempertahankannya dengan tenaganya yang sangat kuat. Ketika dibuka ajimatnya, baru lelaki berusia 52 tahun itu merintih kesakitan. Dari keanehan itu dapat ditarik kesimpulan. Diduga Abdullah sedang mengamalkan ilmu hitam. Nah, untuk kesempurnaan ilmunya itu, kemungkinan dia membutuhkan korban sebagai tumbal. Diduga, mengamalkan ilmu hitam, maka pimpinan dayah atau orangorang dalam kalangan dayahlah yang sangat cocok sebagai tumbalnya. Atau mungkin saja sang guru tempat dia belajar ilmu yang menyuruh Abdullah mencari tumbal, khusus di Dayah Sa’adatuddaraini, Arongan itu. Benarkah? Walauhualam.** ¦ Suryadi (Bireuen) U ¦ MODUS/Suryadi Dayah Saadatuddaraini Arongan.